INFO SEPUTAR BAPAK PROKLAMATOR DAN REPUBLIK INDONESIA 
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter

Minggu, 27 Februari 2011

Bung Karno: Elang Terbang Sendiri


Terlalu banyak kisah heroik menjelang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Jalannya revolusi, penuh riak gelombang. Panas-dingin suhu politik. Naik-turun irama pergerakan. Jalinan hubungan antara sang pemimpin dengan yang dipimpin, tak urung mengalami pasang dan surut.
Bung Karno tak pernah sepi dari kontroversi. Lihat sejarah Romusha. Tengok sejarah pembentukan PETA. Tidak semua langkah Sukarno didukung semua elemen perjuangan. Beberapa pemuda bahkan menentang keras, mengecam, bahkan mengutuk Sukarno yang mereka tuding sebagai “kolaborator”. Benar. Sikap Sukarno yang mau bekerja sama dengan Jepang untuk beberapa hal, dinilai keblinger, dan melenceng dari cita-cita menuju Indonesia merdeka.

Persoalannya, seperti yang Bung Karno keluhkan kepada Cindy Adams, penulis biografinya, bahwa ia tidak mungkin keliling Indonesia, mendatangi satu per satu orang dan menjelaskan semua langkah dan keputusannya. Termasuk yang cap terhadapnya sebagai kolabortor Jepang. Bung Karno hanya punya keyakinan. Bung Karno hanya punya perhitungan. Bung Karno hanya punya ego yang sangat kuat.
Alhasil, ketika tahun 1943 Jepang mendirikan PETA, Bung Karno sendiri yang memilihkan pemuda-pemuda cakap untuk menjadi anggotanya, satu di antaranya Gatot Mangkupraja, pemberontak PNI yang senasib dengan Bung Karno ketika dijebloskan ke penjara Sukamiskin tahn 1929. Sikap Bung Karno didasari perhitungan, dengan menjadi anggota PETA, maka para prajurit muda asli putra bangsa, akan mendapat pelajaran-pelajaran penting tentang dasar-dasar kemiliteran, ilmu berperang, strategi bertempur, dan penguasaan peralatan perang modern.

Sementara, sekelompok muda yang progresif menentang bergabung dengan PETA, bahkan mengutuk Sukarno yang mendukung PETA, demi membantu Jepang melawan Sekutu. Itu pula yang diucapkan seorang dokter muda yang merawat Bung Karno di rumah sakit, sekitar tahun 1943. Katanya, “Banyak orang mengatakan, dengan memasuki tentara (PETA) yang didirikan oleh Jepang hanya berarti kita akan membantu Jepang saja.”

Bung Karno marah dan menukas, “Itulah pandangan yang dangkal. Orang yang berpikir demikian, tidak bisa melihat jangka yang lebih jauh ke depan. Tujuan yang pokok adalah melengkapi alat perjuangan bagi kemerdekaan. Tidak ada maksud lain daripada itu.”
Dokter itu membantah, “Tapi ingatlah bahwa Jepang datang kemari untuk menjajah. Dia itu musuh. Bertempur di samping mereka berarti membantu Fasisme!”

Bung Karno menjawab, “Kukatakan, pendirian yang demikian itu terlalu picik. Tapi, baiklah, Jepang itu datang kemari untuk menjajah dan harus diterjang keluar. Akan tetapi ingat, bahwa mereka adalah penjajah yang bisa diperalat. Saya membantu pembentukan PETA — ya! Tapi bukan untuk mereka! Tidakkah dokter memahaminya? Untuk kita! Untuk engkau! Untukku! Untuk Tanah Air kita! Atau, apakah dokter tetap mau menjadi orang jajahan sampai hari kiamat?

Dokter itu belum puas, dan terus berbantah dengan Sukarno, “Rakyat menyatakan tentang Bung Karno, bahwa……..”
“Rakyat tidak mengatakan apa-apa!” Bung Karno memotong kalimat dokter. “Jikalau mereka yakin, bahwa saya tidak menempuh jalan yang paling baik, tentu rakyat tidak akan mengikuti saya, bukan? Coba, apakah memang rakyat tidak mengikuti saya?”
“Tidak.”
“Bukankah mereka mengikuti saya?”
“Ya, seratus persen.”
“Jadi, rakyat tidak mengatakan apa-apa. Hanya beberapa pemuda yang kepala panas saja yang mengatakan….”

“Bahwa Bung Karno bekerja sama dengan musuh,” dokter melengkapi kalimat Bung Karno.
Tapi toh, dialog itu tidak bisa meredam para pemuda yang disebut Bung Karno kepala panas. Makanya, Bung Karno pada waktu-waktu itu, masih sering menjumpai secarik kertas berisi surat kaleng yang diselipkan di bawah pintu. Salah satu dari surat itu menyebutkan, “Karena kami dipimpin oleh seseorang yang bersemangat tikus, kami tidak berani berjuang. Akan tetapi jika kami dipimpin oleh seseorang yang bersemangat banteng, kami akan bertempur mati-matian.”

Atas kejadian itu, Bung Karno hanya bergumam, “Ah… ini hari yang jelek.” Hati Sukarno benar-benar sedih. Dalam keadaan tertekan seperti itu, satu kalimat yang bisa membuatnya tenang kembali, “Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.”

+-+Share



Sabtu, 26 Februari 2011

Benang Merah Soekarno Dan Mahasiswa


Selasa 18 Januari 1966, delegasi KAMI bertemu dengan Soekarno. Ini adalah yang kedua kalinya. Cuma, pertemuan pertama dengan Soekarno berlangsung ringkas saja, yaitu saat berlangsung Sidang Paripurna Kabinet 15 Januari. Delegasi mahasiswa menyampaikan tuntutan-tuntutan pembubaran PKI, reshufle kabinet dan penurunan harga. Pertemuan 18 Januari adalah pertemuan yang terjadwal. Dalam pertemuan itu, delegasi KAMI terdiri antara lain dari Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Mar’ie Muhammad, Elyas, Lim Bian Koen, Firdaus Wajdi, Abdul Gafur dan Djoni Sunarja. Tentang pertemuan ini, David Napitupulupernah mengisahkan di tahun 1986, betapa Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan perut bawah dengan santun. Menjawab tudingan Soekarno yang disampaikan dengan nada keras, salah satu anggota delegasi menjelaskan kepada Soekarno bahwa kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi KAMI, semisal corat-coret dengan kata-kata kotor, itu “adalah pekerjaan tangan-tangan kotor” yang menyusup ke dalam “barisan mahasiswa progressif revolusioner”.

Soekarno antara lain mempersoalkan corat-coret yang menyebut salah satu isterinya, Nyonya Hartini, sebagai ”Gerwani Agung”. Gerwani adalah organisasi wanita onderbouw PKI.

Delegasi KAMI juga menyampaikan tiga tuntutan rakyat. Dan Soekarno menjawab “Saya mengerti sepenuhnya segala isi hati dan tuntutan para mahasiswa”, dan menyatakan tidak menyangsikan maksud-maksud baik mahasiswa. Tetapi dengan keras Soekarno menyatakan tidak setuju cara-cara mahasiswa yang menjurus ke arah vandalisme materil dan vandalisme mental, yang menurut sang Presiden bisa ditunggangi golongan tertentu dan Nekolim, yang tidak menghendaki persatuan Bung Karno dan mahasiswa. Dalam pertemuan yang disebut dialog ini, yang terjadi adalah Soekarno mengambil kesempatan berbicara lebih banyak daripada para mahasiswa. Tentang pembubaran PKI, kembali Soekarno tidak memberikan jawaban memenuhi tuntutan pembubaran, dan hanya menyuruh mahasiswa menunggu keputusan politik yang akan diambilnya.

Tentang ‘kemarahan’ Soekarno saat pertemuan tersebut, juga diceritakan tokoh 1966 Cosmas Batubara, dalam tulisannya ‘Napak Tilas Gerakan Mahasiswa 1966’ (dalam OC Kaligis – Rum Aly, Simtom Politik 1965, Kata Hasta, 2007).

Sebelum kami diterima Presiden, tulis Cosmas, ajudan Presiden yaitu Mayor KKO Widjanarko mengatakan Presiden “akan marah kepada anda semua”. Karena itu, kata Widjanarko, “saran saya, diam saja dan dengar. Biasanya Presiden itu akan marah-marah selama kurang lebih 30 menit”. Apa yang dikatakan Mayor Widjanarko memang benar. Setengah jam pertama Presiden Soekarno marah dan mengatakan bahwa para mahasiswa sudah ditunggangi oleh Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). “Kemudian secara khusus Presiden Soekarno marah kepada saya” dengan mengatakan, “saudara Cosmas sebagai orang Katolik, mengapa ikut-ikut demonstrasi dan saya dapat laporan bahwa anggota PMKRI menulis kata-kata yang tidak sopan terhadap Ibu Hartini. Saudara harus tahu bahwa Paus menghargai saya dan memberi bintang kepada saya. Betul kan saudara Frans Seda bahwa Paus baik dengan saya?”. Frans Seda yang ikut hadir dalam pertemuan itu mengangguk.

“Presiden Soekarno tidak sadar bahwa para mahasiswa yang datang masing-masing sangat independen” tulis Cosmas lebih lanjut. “Kalau saya diserang secara pribadi bukan berarti yang lain akan diam”. Setelah Presiden Soekarno marah-marah, para peserta pertemuan satu persatu melakukan reaksi dan akhirnya Presiden Soekarno kewalahan. Lalu sambil menoleh kepada Roeslan Abdoelgani, Soekarno berkata, “Roeslan, mereka ini belum mengerti revolusi. Bawa mereka dan ajar tentang revolusi”.

Akhirnya pertemuan selesai tapi belum ada putusan Presiden tentang Tritura. “Seperti hari-hari sebelumnya para mahasiswa mulai lagi demonstrasi. Dalam puncak kejengkelannya terhadap demonstrasi KAMI, maka pada tanggal 25 Februari 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan putusan membubarkan KAMI yang diikuti pengumuman tidak boleh berkumpul lebih dari lima orang”.

+-+Share



Jumat, 25 Februari 2011

Bengawan Solo, Bung Karno dan Ratna Sari Dewi


Keroncong, Bengawan Solo merupakan rangkaian kata yang sulit bahkan terkesan tidak dapat dipisahkan. Bagaimana kalau kita tambahkan dengan dua nama yakni Bung Karno dan Naoko Nemoto, apakah masih kita dapat tarik ikatan batin diantaranya ? Jawabnya dengan tegas saya katakan YA. Keroncong, Bengawan Solo, Bung Karno dan Naoko Nemoto pernah menjadi sebuah rangkaian kata yang tidak dapat terpisahkan.
Apalagi, yang tidak penting tentang diri Proklamator kita, ada kalanya penting buat sebagian yang lain. Jadi, ini sungguh bukan soal penting atau tidak penting. Anggap saja bahwa ini memang topik yang menarik. Terlebih mengingat peristiwa ini menyangkut setidaknya tiga nama besar: Bung Karno, Ratna Sari Dewi, dan buaya keroncong yang belum lama ini wafat: Gesang.

Alkisah, pada kunjungan ke Jepang tahun 1959, Bung Karno berkesempatan diperkenalkan dengan gadis cantik berkulit putih nan lembut… Naoko Nemoto namanya. Ketika itu, Naoko adalah seorang geisha… ya, wanita penghibur di sebuah kelab malam bernama Copacabana di Tokyo. Usianya baru 19 tahun.
Geisha adalah sebuah maha budaya Jepang. Kehadirannya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan semua film, baik film komersial maupun dokumenter yang menyangkut kehidupan geisha di Jepang, selalu saja menarik. Mereka adalah wanita-wanita pilihan, yang dibekali kemampuan merawat dan merias diri. Tugasnya adalah menghibur para tamu dengan tarian dan nyanyian.

Tidak sedikit di antara mereka yang kemudian menjadi semacam gundik atau peliharaan para tokoh politik, saudagar, maupun tokoh masyarakat. Sekalipun begitu, seorang geisha tidak bisa disamakan dengan pelacur. Kata geisha atau geiko (di Kyoto) sendiri diartikan sebagai seniman-penghibur. Tidak semua perempuan cantik bisa menjadi geisha, karena untuk menjadi geisha memang memerlukan banyak persyaratan menyangkut skill menari dan menari, serta segala sesuatu terkait kultur Jepang, misalnya tata cara menyajikan ocha atau teh Jepang kepada para tamu.

Bung Karno, yang dalam lawatan ke luar negeri memang sering sendiri itu, mau saja menerima jamuan pengusah kesohor Jepang, bernama Masao Kubo. Ia adalah Direktur Utama Tonichi Inc, sebuah bisnis konglomerasi yang mulai mengembangkan sayap bisnis di Asia, termasuk Indonesia. Bagi Bung Karno, mengunjungi rumah geisha tak lebih dari refreshing di tengah agenda politik yang padat dan menguras pikiran dan fisik..

Masao Kubo memang sudah menyiapkan acara spesial buat Presiden Republik Indonesia itu. Jauh hari sebelumnya, ia sudah merencanakan ini semua. Ini terbukti manakala si jelita Naoko Nemoto, sang geisha tampil dan melantunkan lagu keroncong mahakarya Gesang, Bengawan Solo. Hati orang Indonesia mana tidak tersentuh hatinya, demi mendengar lagu negerinya dinyanyikan penyanyi asing. Cantik pula….
Jadi, sungguh tidak bisa disalahkan jika kemudian Bung Karno begitu terkesan dengan penampilan Naoko Nemoto tadi. Kesan itu begitu dalam, hingga ia susah tidur saat kembali ke hotel. Hatinya masih tertinggal di rumah geisha. Tepatnya, hatinya lumer oleh semua yang ada pada diri Naoko Nemoto. Alhasil, dengan dicomblangi Masao Kubo, Bung Karno pun berkesempatan berjumpa lagi dengan Naoko di hotel tempat Bung Karno menginap.

Pendek cerita, tiga tahun kemudian, tepatnya 3 Maret 1962, Bung Karno berhasil menyunting Naoko Nemoto dan memboyongnya ke Tanah Air setelah diganti namanya menjadi Ratna Sari Dewi. Darinya, Bung Karno dikarnuiai satu putri, Kartika Sari Dewi Soekarno atau Kartika Soekarno, dan akrab dipanggil Karina.
Begitulah sekelumit tambahan story Bung Karno – Ratna Sari Dewi. Jangan lagi disoal, ihwal apa yang membuat Bung Karno tertarik kepada Naoko di rumah geisha tahun 1959 itu. Lagu Bengawan Solo-kah… atau kecantikannya…. Satu hal yang pasti, Bung Karno begitu mencintainya… sampai-sampai ia berwasiat, jika meninggal, “satukan aku dengan dia dalam satu peti.

+-+Share



Kamis, 24 Februari 2011

Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto


Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto 

Menjadi seorang Presiden mungkin “tidak terlalu sulit,” tetapi menjadi seorang pemimpin negeri sangatlah tidak mudah. Meraih jabatan sebagai Presiden banyak ditopang oleh kematangan strategi politik, tetapi menjadi pemimpin sebuah negeri sangat membutuhkan kekuatan mental serta kesediaan sakit dan berkorban demi negeri serta rakyat yang dipimpinnya.

Konsep sebagai seorang pemimpin besar telah ditunjukkan secara nyata oleh Presiden Soekarno dalam menyikapi langkah-langkah kudeta Jenderal Soeharto dan kroninya.
TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.

Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.

Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi. Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.

Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKo” yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.
Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.

Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira), “Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”

“Tetapi itu bukan pengawalan,” kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi, Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada di dalam tim itu.

Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana keberadaannya.

Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno menggelengkan kepala, melarang.

Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia menghadapi Soeharto.

“Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan darah, dan perang saudara.”

Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.

Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan sampai berkembang lebih jauh. “Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri. Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,” kata Achadi.

Menghindari perang saudara inilah sebagai wujud kecintaan Presiden Soekarno terhadap rakyat dan negeri ini. Pantang bagi Bung Karno meneteskan darah diatas negeri ini, apabila hanya akan ditukar dengan sebuah kekuasaan.

+-+Share



Rabu, 23 Februari 2011

Kedekatan Arif Dan Aku


Menopang lahirnya sebuah Republik dengan darah dan peluru mungkin sudah terlalu banyak kita dengar. Tapi berjuang dibalik stir kemudi sebuah taksi layak kita pertanyakan, karena dalam nalar sehat kita akan nampak jurang yang cukup jauh antara gempar Revolusi dan seorang sopir taksi.

Logika sehat yang telah hancur ataukah Arif sosok sopir taksi telah merubah sejarah, tapi setidaknya tulisan kecil ini dapat memberikan gambaran tentang Arif si sopir taksi yang memiliki hubungan dengan Bung Karno.

Warna-warni bunganya revolusi. Aneka kisah kembangnya sejarah. Tak terkecuali sebait kisah, yang terjalin antara Bung Karno dan seorang sopir taksi bernama Arif.

Masa-masa tahun 1930-an, Bung Karno sangat intens berkomunikasi dengan tokoh pergerakan Betawi, M. Husni Thamrin yang tinggal di Gang Kenari, Kramat, Jakarta Pusat. Setiap minggu, Bung Karno pasti ke Jakarta, menemui Husni Thamrin. Kedatangan Bung Karno selalu menggunakan jasa kereta api, turun di stasiun Gambir.

Setelah keluar peron, Bung Karno akan menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari Arif, sopir taksi langganannya. Arif sendiri tahu. Tak jarang ia justru jalan mengendap-endap, melingkar, menjauhi pandangan Bung Karno, tetapi arahnya mendekat dari belakang. Ketika sudah dekat, barulah ia tepuk pundak Bung Karno dan menyapa, “”Ngelamun Bung!”
Bung Karno pasti berjingkat kaget dan tertawa lebar, “Oh… kau Rif. Saya cari kamu sedari tadi,” tutur Bung Karno, yang digambarkan Arif sebagai pemuda jangkung berparas tampan, selalu mengenakan peci.

“Mau kemana Bung?” tanya Arif, sebuah pertanyaan basi, dilanjut pertanyaan susulan yang lebih basi lagi, “Ke Gang Kenari?”

“Iya dong, mau ke mana lagi…,” ujar Bung Karno seraya berjalan menuju taksi Arif di pelataran parkir.

Setelah duduk, Bung Karno berkata, “Eh… Rif, tetapi kali ini uang saya pas-pasan, bagaimana yaaa…?”

“Soal uang pas-pasan tidak perlu dipikir Bung,” kata Arif. Dalam hati Arif sangat bangga kepada pemuda yang dikenalnya sebagai tokoh pergerakan. Arif sangat senang mendengar cerita-cerita pergerakan, cita-cita kebangsaan, dan obrolan-obrolan ringan dari Bung Karno, setiap berada di dalam kabin taksinya.

Malah tak jarang, Arif yang ketika itu berusia 20-tahun merasa rendah diri, mengingat orang-orang seperti Bung Karno, Hunsi Thamrin sibuk membela kaumnya dari penjajahan Belanda, dia enak-enak mencari rezeki. Karena itu, ia merasa sudah menjadi bagian dari revolusi, meski sekadar mengantar Bung Karno ke Gang Kenari, balik ke Gambir, dengan tak jarang rela tidak dibayar, karena si Bung sedang tipis dompetnya.

Bagi Arif, apa yang dilakukan, sungguh tak berarti dibanding sepak terjang orang-orang seperti Bung Karno, yang tidak pernah berpikir untuk dirinya, bahkan rela berhadapan dengan Belanda, rela pula dipenjara bertahun-tahun. Kisah-kisah Bung Karno tentang marhaenisme, kapitalisme, dan kekejaman kolonialisme, benar-benar telah merasuk dalam peredaran darah merah Arif, si sopir taksi.

Kalimat Bung Karno yang melekat antara lain, “Arif, kita harus sadar bahwa kita ini bukan bangsa tempe, tetapi masih cucu elang rajawali. Coba saja siapa yang tidak kenal tokoh Gajah Mada yang dapat menyatukan Majapahit. Bukankah pada waktu itu negara Majapahit berpengaruh sampai luar negeri? Nah, di sinilah Arif, kita harus sadar sesadar-sadarnya, dan ketahuilah tidak seorangpun dapat mengubah nasib bangsanya kalau bangsa itu sendiri tidak mau berusaha, tidak mau bangkit, mengubahnya sendiri.”

Bagaimana dengan utang-utang Bung Karno kepada Arif? “Ah, Bung Karno itu sangat baik. Kalau dia ada uang, langsung dibayar semua”

Kisah berlanjut hingga ke suatu hari, Arif mengantar Bung Karno ke Gang Kenari. Sebelum turun, Bung Karno berpesan supaya besok pagi dijemput di Gang Kenari, menuju Gambir, selanjutnya kembali ke Bandung. “Besok jemputlah di tempat ini. Jangan lupa Rif, besok pun masih ngutang lagi yaa” kata Bung Karno sambil menepuk pundak Arif.

Arif menyahut, “Bung, jangan berkata begitu terus, bikin malu saya saja… sampai besok pagi bung!”

Keesokan harinya, tanggal 1 Agustus 1933, Arif meninggalkan rumah, mengarahkan taksinya ke Gang Kenari, hendak menjemput Bung Karno. Betapa terkejut Arif, sesampai di Gang Kenari didapat berita bahwa tadi malam Belanda menangkap Bung Karno. Arif menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi kemudi sambil bergumam, “Nasib pejuang. Kemarin masih bercanda sama saya, hari ini sudah meringkuk di penjara.”

Kisah selanjutnya tentang Bung Karno didapat Arif dari para pejuang yang lain, serta dari suratkabar. Arif tetap mengikuti berita tentang pembuangan Bung Karno ke Ende, disusul pembuangan ke Bengkulu, hingga akhirnya Jepang masuk Indonesia tahun 1942. Arif tak pernah lagi berjumpa dengan Bung Karno.

Tiba-tiba pada era pendudukan Jepang, ia kedatangan tamu orang yang sangat dikenalnya… “Arif… apa kabarnya,” sapa tamu itu ramah. Tamu yang dimaksud, tak lain dan tak bukan adalah tokoh pergerakan yang kesohor: Bung Karno. Ia datang bertamu malam-malam ke rumah dengan dua tujuan. Pertama, melunasi semua utang ongkos taksi terdahulu. Kedua, menawarinya pekerjaan menjadi sopir pribadi Bung Karno.

Kisah selanjutnya, Arif selalu bersama Bung Karno. Ia merasa terhormat, Bung Karno tidak melupakan jasa kecil orang kecil seperti Arif, sopir taksi bagi jalannya revolusi. Tercatat, Arif mengabdi sebagai pengemudi pribadi Bung Karno hingga tahun 1960. Saat Bung Karno bertanya, apa keinginan Arif setelah berhenti bekerja? Spontan Arif menyatakan keinginannya pergi ke tanah suci.

Bung Karno pun mengabulkan Arif pergi haji.

+-+Share



Aku dan Onassis

x

Neoliberal, kata-kata ini banyak kita dengar saat berlangsung masa kampanye Pilpres 2009. Kata-kata ini sekan tercipta untuk menghancur leburkan Pasangan Capres dan Cawapres SBY-Budiono. Yang menjadi pertanyan adalah, sejak kapan bangsa yang baru berumur 64 tahun mengenal apa yang disebut Neoliberal. Menjawab pertanyaan ini tiada salah kiranya kalau kita mundur sejenak menuju Indonesia tahun 1964, bulan Oktober. Dalam kunjungan kerja ke Roma, Bung Karno tiba-tiba saja diundang oleh miliarder kapitalis Aristoteles Onasis ke kapalnya yang mewah, “Christina”. Hingga hari ini tak pernah terungkap, siapa pemrakarsa pertemuan Presiden Republik Indonesia itu dengan Onasis, mengingat keduanya tidak pernah menjalin persahabatan sebelumnya.

Hanya sebuah epekulasi yang mengatakan, besar kemungkinan, kalangan seniman (pelukis, bintang film) yang menjembatani pertemuan itu. Mengingat dalam hampir setiap kunjungannya ke Roma, Bung Karno selalu meluangkan waktu bertemu para seniman setempat.
Singkatnya, kapal mewah “Christina” berlajar menuju Laut Tengah. Onasis didampingi Maria Callas, bintang opera bersuara emas yang cantik jelita. Sekilas, pertemuan itu berlangsung sangat akrab, laiknya perjumpaan dua karib lama. Di atas kapal itu pula terjadi serangkaian pertemuan yang sangat produktif, mulai dari jamuan makan sampai pertemuan empat mata Bung Karno – Onasis. “Saya tidak mengira, mereka (Onasis dan Callas) mengetahui begitu banyak tentang Indonesia dan diri saya,” ujar Bung Karno tak lama setelah pertemuan usai.
Tentang materi pertemuan, Bung Karno menyinggung sekilas, bahwa intinya, Onasis menjajagi kemungkinan menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai bidang, utamanya pertambangan. Onasis bahkan siap menanamkan uangnya bermiliar-miliar dolar AS di bumi Indonesia. Terlebih, dalam Undang Undang Penanaman Modal Asing tahun 1958, cukup banyak peluang asing berinvestasi di bumi Indonesia.

Dalam pertemuan itu, Onasis terang-terangan menghendaki adanya jaminan dari Presiden Sukarno bahwa perusahaan dan modalnya tidak akan dinasionalisasikan dalam jangka 35 tahun. Syarat itulah yang tidak serta merta diterima Bung Karno. Sebab, bunyi Undang Undang memang membatasi semua izin usaha sempai 10 – 15 tahun, dengan catatan dapat diperpanjang hanya jika perusahaan itu menguntungkan negara dan rakyat Indonesia. “Jangan sampai modal asing atau modal domestik swasta menduduki posisi yang dapat menentukan perekonomian kita,” tandas Bung Karno.

Sikap Bung Karno jelas, kemandirian ekonomi harus menjadi tiang utama bangsa ini. Tidak heran jika Bung Karno banyak menunda izin penanaman modal asing, sebelum jelas gambaran untung dan ruginya dalam kaitan kelestarian alam, perluasan daerah pertanian, transmigrasi, dan sebagainya.

Hingga titik paragraf di atas, tegas tersimpulkan, Bung Karno tidak anti modal asing, tetapi setiap investasi asing, harus menguntungkan negara dan rakyat Indonesia. Jika investasi asing justru mengakibatkan ketergantungan serta hanya memperkaya sekelompok kaum kapitalis, Bung Karno akan tegas menolak.

+-+Share



Kata Mutiara Bung Karno

“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” . (Bung Karno)


“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. (Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno)

“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”. (Bung Karno)

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961)

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” – Bung Karno
“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” (Pidato HUT Proklamasi 1963 Bung Karno)

“……….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan……” (Bung Karno)

“Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali “. (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno)

“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.” (Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno)

“Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. ” Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya” (Pidato HUT Proklamasi, 1964 Bung Karno)

“Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.” (Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno)

“Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong” (Pidato HUT Proklamasi, 1966 Bung Karno)

“Aku Lebih suka lukisan Samodra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, “Kadyo siniram wayu sewindu lawase” (Pidato HUT Proklamasi 1964 Bung Karno)
“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno).

Download Kumpulan Kata Mutiara Bung Karno disini

+-+Share



Selasa, 22 Februari 2011

Rahasia 17 Agustus 1945



17 Agustus merupakan hari besar kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, 64 tahun yang lalu merupakan hari paling bersejarah negeri ini karena di hari itulah merupakan awal dari kebangkitan rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan sekaligus penanda awalnya revolusi. Namun, ada beberapa hal menarik seputar hari kemerdekaan negeri kita tercinta ini yang sayang jika belum Anda ketahui.

1. Soekarno Sakit Saat Proklamirkan Kemerdekaan
Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sblm pembacaan teks Proklamasi), ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Saat itu, tepat di tengah-tengah bulan puasa Ramadhan.

"Pating greges", keluh Bung Karno setelah dibangunkan Dr. Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.

Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. "Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!", ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya; masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai.

2. Upacara Proklamasi Kemerdekaan Dibuat Sangat Sederhana
Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor, dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nanti selama lebih dari 300 tahun!

3. Bendera dari Seprai
Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

4. Akbar Tanjung Jadi Menteri Pertama “Orang Indonesia Asli”
Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar "orang Indonesia asli". Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. "Orang Indonesia asli" pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan (1988-1993).

5. Kalimantan Dipimpin 3 Kepala Negara
Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).

6. Setting Revolusi di Indonesia Diangkat Ke Film
Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, "Tahun Vivere Perilocoso" (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film - dalam bahasa Inggris; "The Year of Living Dangerously". Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan Australia yg ditugaskan di Indonesia pada 1960-an, pada detik2 menjelang peristiwa berdarah th 1965. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!

7. Naskah Asli Proklamasi Ditemukan di Tempat Sampah
Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik.Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

8. Soekarno Memandikan Penumpang Pesawat dengan Air Seni
Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang.

9. Negatif Film Foto Kemerdekaan Disimpan Di Bawah Pohon
Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

10. Bung Hatta Berbohong Demi Proklamasi
Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama "Abdullah, co-pilot". Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi.

Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Dandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa "Abdullah" itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya."You are a liar !" ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru.

11. Bendera Merah Putih dan Perayaan Tujuh Belasan Bukan di Indonesia Saja

Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960. Selain itu, masih menjadi perdebatan apakah lagu Indonesia Raya benar-benar merp karya asli WR Supratman, ataukah 'terinspirasi' oleh lagu Perancis, "Les Marseilles", yg memiliki nada2 yg sangat mirip.

12. Tidak Ada Nama Jalan Soekarnp-Hatta
Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup untuk mengenang co-proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada "Jalan Soekarno-Hatta" di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka.

13. Gelar Proklamator Hanyalah Gelar Lisan
Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.

14. Indonesia Mungkin Saja Punya Lebih Dari Dua Proklamator
Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya "lebih dari dua" proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat dini hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal : Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. "Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau", gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.

15. Jenderal Soedirman Tidak Pernah Duduki Jabatan Resmi
Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Soedirman, pada kenyatannya tidak pernah menduduki jabatan resmi di kabinet RI. Beliau tidak pernah menjadi KSAD, Pangab, bahkan menteri pertahanan sekalipun! 
Sumber :  http://info-propaganda.blogspot.com/2011/02/rahasia-17-agustus-1945.html

+-+Share



 
Copyright 2011 Presiden Ir. Soekarno - All Rights Reserved.
Designed by DNN | Premiumbloggertemplates.com